Sabtu, 03 Mei 2008

TAWAZUN DALAM BERJUANG

Menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa, ‘Al-Waznu’ adalah rangkaian huruf yang membentuk makna penyeimbangan, pelurusan (penyesuaian) dan kesungguhan (istiqomah). Sementara kata ‘Tawazun’ bermakna memberi sesuatu akan haknya, tanpa ada penambahan dan pengurangan. Hal itu bisa tumbuh dari buah pengetahuan terhadap hakikat segala sesuatu sebagaimana mestinya dan pengetahuan terhadap batasan-batasan, tujuan-tujuan serta segi manfaatnya.

Ikhwati fillah, jalan da’wah ini masih panjang dan sangat panjang, sepanjang usia dari zaman itu sendiri. Untuk bisa menjalaninya dengan baik dibutuhkan sikap tawazun dalam berjuang. Bagi para mas’ulin dan pimpinan di semua level da’wah ini, refleksi sikap tawazun ditunjukkan dalam bentuk kemampuan memenej dan mengarahkan ‘perahu da’wah’ ini, sedemikian sehingga seluruh yang ada didalamnya bisa berfungsi dan berkontribusi optimal bagi perjuangan, menuju ridho Alloh swt. Tidak ada penghuni kapal yang disfunction apalagi malfunction. Dan dari semua arah kebijakan maupun program yang dibuat, selalu focus pada dua pekerjaan besar yaitu SDM (Human resources) dan kemudian mendorong munculnya Karya (product) apa yang bisa dihasilkan oleh SDM tersebut untuk ‘melayani’ (berkhidmat) pada umat. Dan tentu saja, semuanya dikelola secara sinergis dengan semangat ta’awun antar sector.Adapun di level anggota, sikap tawazun direfleksikan dalam bentuk motivasi hidup yang besar, vitalitas dan semangat, agresif dan aktif, optimis dan mempunyai cita-cita dalam hidupnya. Senantiasa menampakkan senyum di wajahnya yang penuh dengan cita-cita dan kemenangan. Lisannya begitu fasih membahasakan keinginan dan suara kuat di hatinya.Memang, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana cara yang tepat agar semua kecenderungan yang ada, mampu direalisasikan semuanya secara adil, proporsional dan seimbang, sehingga menjadi contoh bagi yang lainnya. Dan apakah mencari keseimbangan diantara berbagai kecenderungan bisa dilaksanakan atau dipraktekkan dalam kenyataan? Untuk menjawabnya, kita perlu melihatnya dari dua aspek. Pertama, apakah fenomena tawazun dalam berbagai kecenderungan beramal pernah terjadi pada zaman salafus shalih. Kedua, mungkinkan hal itu dipraktekkan pada zaman sekarang?Rasululloh saw. adalah sosok yang ideal dijadikan model atas pelaksanaan konsep tawazun. Beliau adalah orang yang memiliki keimanan yang kuat, pemimpin dan ahli ibadah yang zuhud, ahli strategi perang yang sangat berani, panglima yang gigih, teguh dan agung. Di lingkungan keluarga, beliau adalah sebaik-baik pemimpin keluarga sekaligus guru, baik terhadap istri, anak-anak maupun seluruh kerabat.Sosok lain kehidupan orang shalih setelah generasi sahabat yang bisa dijadikan model adalah seperti Imam Baqiy bin Mukhollad, seorang ahli hadits yang tinggal di kota Andalusia. Ia adalah seorang yang mampu membagi waktunya untuk berbagai amal shalih. Jika sholat subuh, beliau membaca surat-surat yang panjang dalam Al-Qu’ran, dan melanjutkannya setelah dzikir ba’da sholat. Usai itu beliau kembali sejenak ke rumah, dan setelah berwudhu beliau melaksanakan tugasnya bekerja sebagai soerang guru hingga waktu ashar. Ba’da maghrib beliau berjumpa dengan segenap tetangganya, lalu berbincang dengan mereka tentang persoalan agama dan dunia, bersama-sama mencari solusi terhadap masalah-masalah sosial yang ada. Ba’da isya sebelum tidur, beliau menasehati anak dan istrinya, dan bangun pagi di sepertiga malam untuk bermunajat kepada Sang Khaliq. Secara fisik, beliau termasuk orang yang kuat, tegap dan mampu berjalan jarak jauh. Ia pernah berjalan hingga kota Isbiliyah, Bi’rah dan lainnya. Ia tidak mengacuhkan orang-orang disekitarnya, bahkan dengan tekun membimbing dan menasehati mereka. Namun ia juga selalu meluangkan waktu untuk bercengkrama bersama keluarganya dan mengarahkan mereka. Kesibukannya beribadah tidak melalaikannya untuk menolong orang yang dizalimi. Ia tidak lupa berjihad, bahkan tercatat sekitar 72 kali ia mengikuti peperangan. Jadi jelas, bahwa fenomena tawazun memang pernah ada dan dipraktekkan oleh generasi salaf. Dan pada masa kini, terwujudnya hal itu adalah sangat mungkin dan bukan utopia.Lalu, bagaimana dengan kita di zaman sekarang ini? Apa saja yang harus disiapkan agar bisa tawazun dalam berjuang? Sekurang-kurangnya diperlukan 5 syarat untuk bisa merealisir sikap tawazun. Pertama, kondisi ruhiyah yang prima, sebagai bahan bakar utama perjuangan. Kedua, meningkatnya ilmu dan wawasan intelektual, agar bisa membuka jalan-jalan baru dan tidak mengalami stagnasi daya nalar dan keengganan beramal. Ketiga, pembiasaan sejak dini hingga menjadi culture dalam kehidupan. Keempat, fisik yang sehat dan kuat agar seluruh rencana bisa dijalankan. Dalam hal ini, kita perlu lebih memperhatikan aspek safety (keselamatan), sebab terkadang kita lebih suka pilih-pilih model HP terbaru ketimbang membeli helm standar (baca: termasuk talinya) yang berfungsi melindungi kepala kita saat berkendara. Kelima, sikap mental yang positif, agar mampu memikul beban hidup dengan iradat (kemauan) yang kuat, berani mennghadapi tantangan, dan mampu mengendalikan emosi.Begitulah seharusnya kepribadian kader yang tawazun, tidak mudah goyah dan lemah, keseimbangan pribadinya tetap melekat saat dihadapkan pada berbagai kesulitan dan persoalan hidup. Dan indikator adanya keseimbangan diri pada seseorang adalah jika ia mampu memikul seluruh mas’uliyah dan tugas-tugas dengan tabah, serta menciptakan pada dirinya imunitas pribadi terhadap sifat lemah, loyo dan stagnasi.Laa yukalliful-Lloohu nafsan illa wus’aha.

by: Ustadz Jafar

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda